Kompas, Agar Sukses Ujian


Oleh: Hendra Amalfi

Ketika kita mendengar kata “ujian”, mungkin yang terbayang oleh kita adalah suatu tantangan yang harus dihadapi dan diselesaikan. Suatu episode yang mesti dituntaskan sesegera mungkin. Untuk sementara statement tersebut cukup untuk mewakili defenisi sederhana dari ujian. Dalam hidup ini, kita mengenal begitu banyak bahkan menjalani ujian itu sendiri. Mulai ujian yang sifatnya akademik –seperti ujian sekolah, ujian semester, ujian naik kelas, ujian masuk PTN, ujian CPNS, dan sebagainya– sampai ujian kehidupan yang beragam dan bervariasi ujian dalam bentuk musibah, bencana, kemelaratan, dan sebagainya.
Menelik situasi saat ini, terutama di Sumatera Barat, boleh dikatakan moment yang tepat untuk berbicara mengenai ujian. Bayangkan, lebih dari enam ribu warga Sumatera Barat akan mengikuti ujian penerimaan PNS (Pegawai Negeri Sipil). Tak ketinggalan di sejumlah institusi perguruan tinggi juga akan menggelar ujian bagi para mahasiswanya. Dalam hitungan minggu kedepan, ujian semester pun akan dilalui oleh siswa/i diberbagai tingkatan sekolah. Memang begitulah sebuah ujian, episode pasti dalam rentang kehidupan ini. Hadir menantang kita dan meninggalkan jejak, berupa hasil perjuangan kita dalam menghadapinya.
Bukan suatu hal yang aneh lagi bahwasanya ujian itu penuh dengan tantangan, yang secara sadar atau tidak telah memaksa kita untuk memacahkan dan menyelesaikan tantangan tersebut. Berbagai persiapanpun tentunya harus kita lakukan. Mulai dari melengkapi catatan, bahan kuliah dari dosen, diktat kuliah ataupun mencari materi-materi yang akan diujiankan, memfotocopy contoh-contoh soal ujian tahun sebelumnya, membahasnya dan persiapan-persiapan lainnya. Intinya, sebuah persiapan.
Dari hal tersebut kita diajari, bahwa dalam menghadapi suatu ujian (baik ujian akademis maupun ujian dalam kehidupan) dibutuhkan suatu persiapan yang matang agar kita dapat menghadapinya dan menyiasatinya dengan sebaik-baiknya. Suatu ujian yang dihadapi tanpa persiapan, akan membuahkan kegagalan yang dapat berakibat munculnya rasa kekecewaan dan menyesal dipenghujung perjuangan kita.
Teringat memori di SMA dahulu, yang mungkin pernah kita temui dan saksikan sendiri. Ketika ditanya kepada teman saat UN (Ujian Nasional). “Bagaimana dengan UN mu?”. Spontan dia menjawab, “Ya… lumayan lah. Awalnya banyak jawaban yang kosong karena saya tidak tahu sama sekali. Tapi karena ada teman yang nolong kasih contekan, dan akhirnya saya bisa mengisi semua jawaban yang kosong”. Ada yang menganggap ini lumrah. Benarkah?
Ketika seorang Ibu ditanya perihal ekonomi keluarganya yang sedang pailit, beliau menjawab, “Ya nak…hidup sekarang memang susah. Anggap saja ini sebuah ujian dari Allah. Toh, semua kita akan mendapatkan jatah ujian dari-Nya, tapi kita tidak akan pernah tahu kapan ujian datang dan dalam bentuk apa”. Lain halnya ketika seorang anak SD dengan polos menyatakan, ketika ditanya perihal ujiannya, “Ya…Bang. Alhamdlillah ada yang dapat tapi ada juga yang tidak dapat. Padahal saya kan sudah mati-matian belajar jauh-jauh hari sebelum ujian”. Sebegitukah ketika kita menjawab tantangan dalam bentuk sebuah ujian?
Dari potret keseharian yang sederhana diatas kembali kita diajarkan suatu hal yakni, dalam menghadapi suatu ujian kita mempunyai siasat masing-masing untuk menjalani dan menuntaskan ujian tersebut. Banyak cara yang dapat dilakukan untuk menghadapi ujian tersebut. Tapi yang perlu menjadi kita perhatikan dan pahami, apakah cara tersebut sudah benar atau bahkan cara tersebut tidak benar? Kita harus memikirkan, apakah cara-cara yang dihadapkan kepada kita merupakan suatu cara dan langkah yang etis atau sesuai. Jangan sampai kita menghalalkan berbagai cara demi segelintir bayangan kesuksesan di masa depan, yang pada akhirnya hal tersebut juga Allah yang menentukan.
Banyak bentuk kebenaran cara dan siasat yang dapat menjadi pilihan kita saat menghadapi ujian. Tidak sedikit dari cara dan siasat tersebut adalah tak-tik liar dan kecurangan yang menjelma disetiap ujian yang dihadapi. Mana jalan yang pantas kita tempuh? Ketika kita dihadapkan pada hal yang demikian, yang kita butuhkan adalah sebuah kompas. Kompas disini bukanlah kompas penunjuk dua arah (utara dan selatan), tetapi kompas penunjuk dua jalan (kebaikan dan keberukan).
Dalam menghadapi ujian sudah semestinya kita berpedoman kepada arah kompas ini. Kompas kehidupan, penunjuk dua jalan, arah kebaikan dan keburukan. Kita sebagai makhluk Allah yang diberi akal pikiran dan hati nurani, memiliki kemampuan untuk membedakan mana hal yang baik dan mana hal yang buruk. Setiap agama mengajarkan hal tersebut, tentang berbagai kebaikan dan keburukan beserta konsekuensinya. Dan semua agama mengakui bahwa berbohong, mencuri, mencontek, menipu, dan sebagainya adalah suatu hal yang buruk dan akan membuahkan ganjaran dosa dari Allah.
Apapun yang menyebabkan kita buta akan suatu hal yang baik dan yang buruk, indikator benar dan salah” tetap akan menjadi hal yang tidak akan pernah bisa kita pungkiri. Ibarat kompas yang sesungguhnya, tidak pernah menutup-nutupi kedua arah utara dan selatan. Ia tidak pernah berbohong akan dua arah tersebut. Begitu pula dengan kompas kehidupan tadi, ia tidak akan pernah menyembunyikan apapun dari diri kita. Yang benar akan mutlak benar dan yang salah tetap akan salah. Walaupun terkadang kita memungkirinya, mengabaikan dan tidak peduli terhadap arah yang ditunjukkannya. Kompas itu akan mengatakannya kepada kita.
Kecurangan dan kebohongan dalam menghadapi ujian, bukanlah bagian dari semangat dalam memperjuangkan kehidupan. Yakinkanlah diri kita, bahwa sifat-sifat negatif tersebut akan berujung pada kekecewaan dan kegagalan. Tidak pernah ada kepuasan ketika kita memperoleh sesuatu dengan cara dan jalan yang tidak baik.
Henry Ford pernah menyatakan, “Orang melihat keberhasilan yang dicapai manusia lain dan tampaknya hal itu terlihat mudah dicapai. Tetapi itulah dunia, yang sangat berbeda dengan fakta yang ada. Kegagalan yang mudah dan keberhasilan yang selalu sulit. Seseorang dapat gagal, sedangkan ia dapat berhasil hanya dengan menyumbangkan semua yang dimilikinya dan menjadi dirinya.” Adalah suatu keniscayaan yang tidak bisa kita pungkiri bahwa hasil dari ujian itu akan menjadi ketentuan Allah.
Kesungguhan kita dalam menghadapinya, kesabaran kita dalam menjalaninya, dan kearifan kita dalam menuntaskan ujian tersebut, merupakan poin penting yang harus kita simak dalam melangkah dalam medan perjuangan hidup ini. Tidak semestinya kita memotong jalan yang harus kita tempuh dengan hal-hal yang “menjijikan”, walau untuk melakukan hal yang benar itu sering terasa sulit. Banyak cara yang lebih baik dan diberkahi serta diredhoi Allah untuk kita jadikan alterntif pilihan kita dalam menghadapi ujian ini. Allah memandang keberhasilan kita bukan dari hasil akhir yang kita peroleh, melainkan dari proses kita menjalaninya, dari awal hingga akhir perjuangan tersebut.
7 tanggapan:

Keren tulisannya.


Terlihat kualitas seorang jurnalis dalam menulis.., terus berkarya akhiy..


Assalamu'alaikum.
Mohon maaf, dengan sangat bangga sebelumnya ana telah me-link blok akhi di:

http://widodosaputrajundullah.blogspot.com/

Mohon izinnya, jika tidak izin segera konfirmasi ke alamat di atas. Syukron..
(Jika tidak ada konfirmasi ana anggap setuju akh)


afifah amatullah : trimakasih. masih pemula.


widodo saputra : :)


Assalamu'alaikum,
Permisi, saya ingin menitipkan award di blog ini..

http://afifahamatullah.wordpress.com/2011/02/15/award-award/

Semoga membawa kebaikan..


Assalamu'alaikum...
setelah puter-puter, keliling-keliling dunia maya... terdamparlah di blog ini...

nyasar ke tempat yang tak asing lagi sepertinya...

salam ukhuwah hendra... kk link ya...


sepertinya saya mesti banyak belajar bloging lagi. istilah-istilahnya agak rrrrrrrr,,,


tentu kak. maaf kak, baru pemula. mohon masukannya juga kak.


Posting Komentar

BINGKAI AMALFI

Cara kita menulis adalah cara kita berpikir

Entri Populer


Blogroll

Diberdayakan oleh Blogger.

About me

Foto saya
"Lebih berkesan, ketika kita tahu tentang arti sebenarnya keberadaan kita. Bukan perkara apa yang kita miliki sekarang, tetapi perkara sejauh mana kita sudah mensyukuri itu semua"

Himbauan

Apapun yang rekan-rekan dapatkan, baca, dan pahami, mutlak ini adalah karya cipata anak manusia, yang jauh dari kesempurnaan. Adalah suatu kebenaran yang sangat saya hargai bilamana terdapat kekeliruan atau kesalahan untuk disampaikan guna perbaikan demi keutuhan cita-cita penulis.

Lawatan Silaturrahiim