SEHARUSNYA SEMANTAP JOGED CAISAR

20.29


(Hendra Amalfi, MD)


Beberapa waktu terakhir di salah satu stasiun televisi swasta, lagi gencar-gencarnya menayangkan joged Caisar. Tak heran lagi, bak gangnam style yang juga sempat "meracuni" banyak penduduk dunia dengan goyangannya yang unik dan kocak, joged caisar ternyata juga mendapatkan tempat di hati masyarakat, terkhusus di Indonesia. Mulai dari golongan usia muda hingga tua, semuanya hafal dan tampak energik saat menirukan joged caisar ini. Joged yang diiringi dengan alunan musik dangdut, musik khas Indonesia, ini menjadikan caisar style semakin meng-Indonesia. Bahkan di stasiun televisi tersebut, joged caisar ini juga diperlombakan. Mereka yang bisa bergoyang dengan atraktif dan semirip mungkin dengan gaya caisar akan mendapatkan hadiah. Begitulah fenomenal caisar style, mungkin yang sedang membaca artikel ini pernah memparaktikanya? Atau mungkin malah sering melihat tayangannya di televisi? Benar! Itu hanyalah sekedar pelepas penat dan lagi-lagi joged caisar adalah bagian dari sebuah hiburan. 

Melirik caisar style, sekilas penulis mengajak diri penulis dan pembaca yang istimewa untuk mereview lagi sebuah rangkaian gerakan-gerakan yang setiap hari kita praktikan. Yup! Shalat style. Sudahkan gaya dan gerakan shalat kita semantap joged caisar dengan kemiripan dan kelincahannya sewaktu joged itu diciptakan? Allah telah menciptakan sebuah gerakan, boleh sekiranya ini disebut pula sebuah style, jauh sebelum style-style yang ada sekarang hadir ke permukaan bumi. Shalat, seperti halnya caisar style, merupakan rangkaian gerakan yang diturunkan Allah SWT kepada Rasulullah SAW untuk dijadikan sebuah ibadah wajib kepada-Nya.

 


Jika caisar style yang notabenenya hanyalah sebuah hiburan belaka, bagaimana dengan gaya shalat kita yang jelas-jelas merupakan suatu kewajiban dan bentuk ibadah seorang muslim kepada Allah SWT? Jika ada yang lebih energik dan lincah dalam memperagakan caisar style, tentu seharusnya gerakan-gerakan shalat kita harus lebih sempurna sesuai yang diajarkan Rasulullah SAW. Kalau ada yang bias lebih mantap dalam memperagakan Caisar style, maka seharusnya kita jauh lebih mantap dan perfect lagi dalam gerakan ibadah shalat disamping bacaan yang pastinya menjadi poin dalam kualitas shalat kita. Tulisan ini tidak bermaksud men-judge atau menggurui, hanya sekedar ingin berbagi dan saling mengingatkan. Semangat berislam! (Bogor, 20.21)
Read On 1 tanggapan

Cita-Cita Tak Mesti Mengikut Kita Kuliah Dimana

18.10


Ada yang membedakan antara cita-cita dan obsesi? Mereka mungkin kurang lebih sama, tapi pasti berbeda. Dari sini saya membangun semangat untuk meraih cita-cita saya berikutnya. Cita-cita adalah sebuah penekanan yang lahir dari hati, bukan dari emosi.

Begitulah, 5 bulan silam diawal bulan ke-5 tahun 2013, saya mulai memberikan penekanan pada hidup saya bahwa ini adalah cita-cita yang dahulu sempat saya simpan. Bukan obsesi! Walau saat rekan-rekan saya mengetahui ini, hampir semua tidak menyetujuinya.

Menjadi penyiar adalah cita-cita saya. Bahkan lebih dahulu lahir sebelum akhirnya saya mengikuti pendidikan kedokteran. Banyak yang komplain dan kurang mendukung, dan bahkan karena takut, saya sempat merahasiakannya dari orang tua.

Ketika saya memulai secara perdana cuap-cuap di depan microphone, oh tidak...! Saya benar-benar tidak bisa membayangkan. Saya telah memulainya. Dengan berbagai perjuangan dan pengorbanan untuk memperolehnya. Tidak pernah saya menginginkan harapan ini hengkang dan cita-cita ini terkubur lagi. Saya takut dia tak lagi mau bangkit.

Saya nyaman dengan profesi ini. Menggandeng satu sama lain, Alhamdulillah. Kulaih di kedokteran bukan berarti tidak boleh menjadi yang lain. Bukankah begitu teman?





Read On 0 tanggapan

Antara Keterpaksaan dan Kebiasaaan

12.10


Tulisan ini dilatar belakangi oleh kondisi saya disuatu hari. Kebanyakan orang lagi nge-trend melafalakannya dengan istilah labil. Kondisi tersebut memotivasi saya untuk menelusuri kembali potret kehidupan kurang lebih enam tahun silam. Ketika kebiasaan itu, lahir dari sebuah keterpaksaan. Semoga bisa mengobati sindroma labil tersebut.

Bagi sebagian orang mungkin tidak terlalu menyukai masa-masa SMAnya berlalu tanpa adanya sebuah kebebasan. Bebas berekspresi dan berkarya, melakukan apapun, merasakan hal-hal yang baru, dan pergi kemanapun yang disukai. Karena memang sudah sepantasnya usia dibalik seragam putih-abu itu merasakan dan menginginkan hal tersebut.

Ingin berbicara mengenai arti sebuah keterpaksaan dan korelasinya dengan hasil akhirnya berupa sebuah kebiasaan. Dua hal yang tidak terlalu kontradiktif namun masih diragukan khasiatnya. Apalagi ditambah dengan faktor-faktor ekstern. Semakin meragukan, mungkin.

Namun dibalik keraguan tersebut tersimpan sebuah harapan, bagi saya pribadi. Mengapa sebuah harapan?

Suatu ketika, pernah sebuah peraturan hadir dalam kehidupan saya. Lebih tepatnya lagi ketika menjalani usia di balik seragam putih-abu. Risiko mungkin, memilih melanjutkan sekolah di daerah dengan kekhasannya sebagai kota pemerhati imtaq (bukan bermaksud menjudge kota lain tak memerhatikan nilai yang satu ini). Ditambah lagi memilih sekolah dengan konsep boarding school, semakin menjadikan hidup dikala “usia di balik seragam putih-abu saya benar-benar dinamis. Ditambah lagi jauh dari orangtua.

Kembali ke peraturan tadi. Peraturan yang saya maksud, hadir lantaran karena memilih. Memilih tempat melanjutkan pendidikan. Dididik dan dibina.
 
Bangun lebih awal dan shalat subuh berjama’ah, tilawah al quran yang dikontrol, shalat berjama’ah yang senantiasa dievaluasi, hafalan al-quran yang tak pernah terlepas dari muraja’ah bersama-sama, belajar mandiri yang tak luput dari pantauan, mencuci pakaian sendiri, datang ke sekolah on time, dan ada beberapa lagi lainnya. Bagi saya, pada awalnya, beberapa diantaranya bukanlah hal yang biasa. Tidak salah rasanya, jika pada awalnya saya merasa terpaksa menjalani rutinitas, peraturan, anjuran, dan sekelumit ketetapan di tempat yang sudah saya pilih. Bahkan saya berpikir, saya salah memilih.

Ternyata tidak. Seiring waktu berjalan, ternyata bangun lebih awal dan shalat subuh berjama’ah tersebut bukanlah aturan yang memaksa, melainkan salah satu buat saya di akhirat kelak yang mesti dilatih dari dini. Tilawah al quran yang dikontrol, ternyata juga bukanlah sebuah tudingan untuk saya, melainkan inilah yang mengantarkan saya lancar membaca al-quran dibanding dengan sebelum saya memilih tempat ini. Shalat berjama’ah yang senantiasa dievaluasi, juga akhirnya membangunkan saya dari ketidak pahaman bahwa lelaki itu wajib hukumnya shalat berjama’ah. Hafalan al-quran yang tiada lepas dari muraja’ah bersama akhirnya mengajari saya tentang ilmu menjaga amanah (atas hafalan tersebut) dan mengaplikasikan salah satu anjuran terhadap al-quran, yakni menghafalnya. Belajar mandiri, datang ke sekolah on time, bahkan lebih awal, mencuci pakaian sendiri ternyata berujung pada komitmen untuk senentiasa menghargai diri pribadi dan waktu serta kedisiplinan. Subhanallah.

Saya rindu enam tahun silam itu. Ingin rasanya mendapatkan keterpaksaan lagi jika hasil seperti yang pernah saya dapatkan. Walau sebenarnya, kesadaran dari diri sendiri jauh lebih baik dari itu. Saya rindu enam tahun silam itu, atau setidaknya biarkan saya kembali ke enam tahun silam tadi hanya untuk mencabut kata-kata “saya salah memilih”.

Terimakasih ya Allah. Ampuni hamba jika terlalu banyak mengufuri nikmat-Mu.
Read On 5 tanggapan

Nge-Essay Yuk!

05.40
ESAI DAN SELUK BELUKNYA
Oleh: Hendra Amalfi
(Dari Berbagai Sumber)

Mengenal Esai
Pernah mendengar tulisan yang berjudul Als ik eens Nederlander was? Mungkin teman-teman sekalian benar. Judul tulisan yang sering kita dengar saat belajar mata pelajaran Sejarah di SMP ini adalah sebuah tulisan yang menyentil keadaan bangsa saat kolonialisme merajai bumi pertiwi. Dari tulisan ini pula semangat kebanggsaan Indonesia mencuat kepermukaan. Tulisan ini dipublikasikan pada tanggal 18 Juni 1913. Tulisan yang digagas oleh R.M. Soewardi Soerjaningrat, yang dalam Bahasa Indonesia berarti Seandainya Saya Orang Belanda, adalah salah satu contoh esai. Inilah salah satu contoh esai dimasa pergerakan Indonesia.
Esai secara makna kata berasal dari kosa kata Perancis yaitu essayer, yang kurang lebih berarti “mencoba” atau “menantang”. Esai adalah karya dalam bentuk tulisan yang lebih menonjolkan sudut pandang personal subjektif penulis. Esai jauh berbeda dan bukanlah suatu tulisan paper ilmiah yang penuh dengan catatan kaki dan kutipan-kutipan teori para ahli. Esai berisi pemikiran yang dipadu dengan pengalaman, observasi lapangan, anekdot, dan pergulatan batin penulis tentang subyek yang ditulisnya.
Sebuah esai akan memiliki daya pengaruh dan memberikan kontribusi yang luarbiasa terhadap perkembangan pemikiran jika mampu diramu dan diformulasikan dengan tepat. Karena pada hakikatnya esai berisi jalan pemikiran seseorang, perspektif seseorang dalam memandang permasalahan, dan ide personal terhadap suatu konflik. Kurang lebih, esai berisi pengaruh, perspektif penulis yang berefek samping munculnya dinamisasi pemikiran pembaca. Bisa jadi pembaca menganggukkan pandangan penulis, menolak, atau malah muncul pandangan baru ala pembaca.

Struktur Esai
Secara garis besar esai mengandung tiga bagian utama :
1. Pengantar (introduction)
2. Pengembangan (development of idea)
3. Kesimpulan (conclusion)
Bagian pengantar (introduction) esai berisi pokok pembahasan dari permasalahan yang kita angkat. Seperti yang dituliskan pada bagian di atas bahwa permasalahan tersebut dapat berupa argumentasi penulis terhadap suatu kondisi, fenomena atau kejadian yang menyita perhatian orang banyak, pergolakan batin penulis tentang suatu kondisi, dan sebagainya.
Paragraf pertama merupakan bagian yang mungkin paling sulit dikerjakan. Tidak akan sulit kalau kita mampu fokus pada ide dan background esai kita. Sebagian orang memiliki beberapa trik untuk permasalahan ini, yakni dengan membiarkan kesukaran ini dan memutuskannya untuk menulis ulang. Akan tetapi perlu ditekankan lagi bahwa paragraf pertamalah yang menarik perhatian pembaca ke topik dan pendapat kita, serta penting untuk membuat pembaca membaca esai kita hingga tuntas. The first paragraph is often the most difficult to write.
Sesulit apapun paragraf pertama ini, semuanya dapat kita mulai dengan membangun kerangka topik yang akan kita coba eksploitasi dan dengan mendefinisikan topik tersebut. Sesuai dengan sebuah jargon iklan di TV, “Pandangan pertama begitu menggoda, selanjutnya terserah Anda.” Perkenalkan topik yang akan kita bahas dan ikat pembaca kita dan pastikan mereka akan menyelesaikan membaca esai kita. Ingat, perkenalan yang menarik akan memberikan kesan yang melekat. Mulailah tulisan kita dengan menjabarkan topik esai dalam satu atau dua kalimat pembuka.
Berikutnya adalah bagian pengembangan, development of idea. Pada bagian kedua inilah kita menyuguhkan argumentasi dan data. Satu demi satu argumentasi, pergulatan pemikiran disajikan demi terbangunnya sebuah tulisan yang kuat. Kita mesti bisa mengungkapkan pendapat kita dalam tulisan dengan runut dan menarik. Gagasan yang disampaikan juga mesti tersampaikan melalui paragraf demi paragraf yang terhubung secara kompak, logis, dan menarik. Hindari “kerut dahi” pembaca kita lantaran curahan pemikiran, pandangan, dan ide esai kita tidak tersusun rapi dan meloncat-loncat.
Terakhir adalah bagian kesimpulan. Bagian ini tidak harus menyuguhkan solusi, jawaban yang final atas thesis yang kita ajukan. Pada bagian ini kita juga bisa mengajak pembaca untuk mencari solusi, melakukan refleksi, menyajikan alternatif yang segar dan unik, atau sekadar mempertanyakan kebenaran dan kemapanan argumentasi yang sudah kita sajikan. Walaupun begitu, pada bagian paragraf kesimpulan ada beberapa poin yang mesti kita perhatikan. Review lagi, apakah paragraf terakhir yang kita tulis sudah menggambarkan dan menyatakan ulang tema utama secara singkat? Selanjutnya, pada bagian ini harus ada gambaran bahwa argumentasi dan ide-ide yang kita kita luapkan sepadan dengan topik esai dan yang terpenting adalah, argumentasi itu penting kedudukannya dalam esai yang kita tulis. Terakhir, tanpa meninggalkan fungsi utama bagian ini yakni tempat untuk menyimpulkan keseluruhan isi esai.

Penutup
          Siapapun kita, kita memiliki cara tersendiri dalam menulis. Adapun kerangka-kerangka yang dijabarkan di atas, itu hanyalah sebuah tawaran. Dengan harapan dapat mempermudah kita dalam mengeksploitasi ide-ide kita. Semua diserahkan kepada masing-masing personal. Ramu dan formulasikanlah cara kita sendiri dan berbagilah agar kaya khasanah.
          Sungguh, menulis adalah satu-satunya cara agar ide kita tidak beku dan mengendap di lobus memori otak kita yang terdalam. Menulis mampu mengungkit bagian terdalam dari endapan ide-ide kita. Menulis mengajarkan kita bagaimana merangkai ide-ide tersebut sehingga terasa manis dan melekat di hati dan pemikiran pembaca kita. Kita sama-sama belajar, tak terkecuali saya pribadi. “Dan ikatlah ilmu itu dengan menuliskannya”. Selamat menulis teman-teman semua.
Read On 6 tanggapan

Kompas, Agar Sukses Ujian

07.29

Oleh: Hendra Amalfi

Ketika kita mendengar kata “ujian”, mungkin yang terbayang oleh kita adalah suatu tantangan yang harus dihadapi dan diselesaikan. Suatu episode yang mesti dituntaskan sesegera mungkin. Untuk sementara statement tersebut cukup untuk mewakili defenisi sederhana dari ujian. Dalam hidup ini, kita mengenal begitu banyak bahkan menjalani ujian itu sendiri. Mulai ujian yang sifatnya akademik –seperti ujian sekolah, ujian semester, ujian naik kelas, ujian masuk PTN, ujian CPNS, dan sebagainya– sampai ujian kehidupan yang beragam dan bervariasi ujian dalam bentuk musibah, bencana, kemelaratan, dan sebagainya.
Menelik situasi saat ini, terutama di Sumatera Barat, boleh dikatakan moment yang tepat untuk berbicara mengenai ujian. Bayangkan, lebih dari enam ribu warga Sumatera Barat akan mengikuti ujian penerimaan PNS (Pegawai Negeri Sipil). Tak ketinggalan di sejumlah institusi perguruan tinggi juga akan menggelar ujian bagi para mahasiswanya. Dalam hitungan minggu kedepan, ujian semester pun akan dilalui oleh siswa/i diberbagai tingkatan sekolah. Memang begitulah sebuah ujian, episode pasti dalam rentang kehidupan ini. Hadir menantang kita dan meninggalkan jejak, berupa hasil perjuangan kita dalam menghadapinya.
Bukan suatu hal yang aneh lagi bahwasanya ujian itu penuh dengan tantangan, yang secara sadar atau tidak telah memaksa kita untuk memacahkan dan menyelesaikan tantangan tersebut. Berbagai persiapanpun tentunya harus kita lakukan. Mulai dari melengkapi catatan, bahan kuliah dari dosen, diktat kuliah ataupun mencari materi-materi yang akan diujiankan, memfotocopy contoh-contoh soal ujian tahun sebelumnya, membahasnya dan persiapan-persiapan lainnya. Intinya, sebuah persiapan.
Dari hal tersebut kita diajari, bahwa dalam menghadapi suatu ujian (baik ujian akademis maupun ujian dalam kehidupan) dibutuhkan suatu persiapan yang matang agar kita dapat menghadapinya dan menyiasatinya dengan sebaik-baiknya. Suatu ujian yang dihadapi tanpa persiapan, akan membuahkan kegagalan yang dapat berakibat munculnya rasa kekecewaan dan menyesal dipenghujung perjuangan kita.
Teringat memori di SMA dahulu, yang mungkin pernah kita temui dan saksikan sendiri. Ketika ditanya kepada teman saat UN (Ujian Nasional). “Bagaimana dengan UN mu?”. Spontan dia menjawab, “Ya… lumayan lah. Awalnya banyak jawaban yang kosong karena saya tidak tahu sama sekali. Tapi karena ada teman yang nolong kasih contekan, dan akhirnya saya bisa mengisi semua jawaban yang kosong”. Ada yang menganggap ini lumrah. Benarkah?
Ketika seorang Ibu ditanya perihal ekonomi keluarganya yang sedang pailit, beliau menjawab, “Ya nak…hidup sekarang memang susah. Anggap saja ini sebuah ujian dari Allah. Toh, semua kita akan mendapatkan jatah ujian dari-Nya, tapi kita tidak akan pernah tahu kapan ujian datang dan dalam bentuk apa”. Lain halnya ketika seorang anak SD dengan polos menyatakan, ketika ditanya perihal ujiannya, “Ya…Bang. Alhamdlillah ada yang dapat tapi ada juga yang tidak dapat. Padahal saya kan sudah mati-matian belajar jauh-jauh hari sebelum ujian”. Sebegitukah ketika kita menjawab tantangan dalam bentuk sebuah ujian?
Dari potret keseharian yang sederhana diatas kembali kita diajarkan suatu hal yakni, dalam menghadapi suatu ujian kita mempunyai siasat masing-masing untuk menjalani dan menuntaskan ujian tersebut. Banyak cara yang dapat dilakukan untuk menghadapi ujian tersebut. Tapi yang perlu menjadi kita perhatikan dan pahami, apakah cara tersebut sudah benar atau bahkan cara tersebut tidak benar? Kita harus memikirkan, apakah cara-cara yang dihadapkan kepada kita merupakan suatu cara dan langkah yang etis atau sesuai. Jangan sampai kita menghalalkan berbagai cara demi segelintir bayangan kesuksesan di masa depan, yang pada akhirnya hal tersebut juga Allah yang menentukan.
Banyak bentuk kebenaran cara dan siasat yang dapat menjadi pilihan kita saat menghadapi ujian. Tidak sedikit dari cara dan siasat tersebut adalah tak-tik liar dan kecurangan yang menjelma disetiap ujian yang dihadapi. Mana jalan yang pantas kita tempuh? Ketika kita dihadapkan pada hal yang demikian, yang kita butuhkan adalah sebuah kompas. Kompas disini bukanlah kompas penunjuk dua arah (utara dan selatan), tetapi kompas penunjuk dua jalan (kebaikan dan keberukan).
Dalam menghadapi ujian sudah semestinya kita berpedoman kepada arah kompas ini. Kompas kehidupan, penunjuk dua jalan, arah kebaikan dan keburukan. Kita sebagai makhluk Allah yang diberi akal pikiran dan hati nurani, memiliki kemampuan untuk membedakan mana hal yang baik dan mana hal yang buruk. Setiap agama mengajarkan hal tersebut, tentang berbagai kebaikan dan keburukan beserta konsekuensinya. Dan semua agama mengakui bahwa berbohong, mencuri, mencontek, menipu, dan sebagainya adalah suatu hal yang buruk dan akan membuahkan ganjaran dosa dari Allah.
Apapun yang menyebabkan kita buta akan suatu hal yang baik dan yang buruk, indikator benar dan salah” tetap akan menjadi hal yang tidak akan pernah bisa kita pungkiri. Ibarat kompas yang sesungguhnya, tidak pernah menutup-nutupi kedua arah utara dan selatan. Ia tidak pernah berbohong akan dua arah tersebut. Begitu pula dengan kompas kehidupan tadi, ia tidak akan pernah menyembunyikan apapun dari diri kita. Yang benar akan mutlak benar dan yang salah tetap akan salah. Walaupun terkadang kita memungkirinya, mengabaikan dan tidak peduli terhadap arah yang ditunjukkannya. Kompas itu akan mengatakannya kepada kita.
Kecurangan dan kebohongan dalam menghadapi ujian, bukanlah bagian dari semangat dalam memperjuangkan kehidupan. Yakinkanlah diri kita, bahwa sifat-sifat negatif tersebut akan berujung pada kekecewaan dan kegagalan. Tidak pernah ada kepuasan ketika kita memperoleh sesuatu dengan cara dan jalan yang tidak baik.
Henry Ford pernah menyatakan, “Orang melihat keberhasilan yang dicapai manusia lain dan tampaknya hal itu terlihat mudah dicapai. Tetapi itulah dunia, yang sangat berbeda dengan fakta yang ada. Kegagalan yang mudah dan keberhasilan yang selalu sulit. Seseorang dapat gagal, sedangkan ia dapat berhasil hanya dengan menyumbangkan semua yang dimilikinya dan menjadi dirinya.” Adalah suatu keniscayaan yang tidak bisa kita pungkiri bahwa hasil dari ujian itu akan menjadi ketentuan Allah.
Kesungguhan kita dalam menghadapinya, kesabaran kita dalam menjalaninya, dan kearifan kita dalam menuntaskan ujian tersebut, merupakan poin penting yang harus kita simak dalam melangkah dalam medan perjuangan hidup ini. Tidak semestinya kita memotong jalan yang harus kita tempuh dengan hal-hal yang “menjijikan”, walau untuk melakukan hal yang benar itu sering terasa sulit. Banyak cara yang lebih baik dan diberkahi serta diredhoi Allah untuk kita jadikan alterntif pilihan kita dalam menghadapi ujian ini. Allah memandang keberhasilan kita bukan dari hasil akhir yang kita peroleh, melainkan dari proses kita menjalaninya, dari awal hingga akhir perjuangan tersebut.
Read On 7 tanggapan

Banting Tulang feat Banting Otak

08.53

Akhir-akhir ini memori saya sangat familiar dengan istilah yang satu ini, “membanting otak”. Terdengar agak ekstrem. Saya juga belum tahu, apakah istilah ini sudah familiar pula digunakan masyarakat umum atau belum. Kalau belum, berarti saya sedang mengupayakan sebuah istilah baru untuk bisa dipahami orang banyak. :D
Lain halnya dengan kata-kata “membanting tulang”. Semenjak saya duduk di bangku sekolah dasar, istilah ini sering digunakan. Cukup familiar. Apalagi saat kelas Bahasa Indonesia, belajar tentang pribahasa dan frase. “Ayah membanting tulang di sawah.” Mungkin ini salah satu kalimat yang sering pula kita tulis. Atau guru di depan kelas memberikan pertanyaan untuk ulangan harian Bahasa Indonesia, “Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Ayah dan Ibu terpaksa membanting tulang di pasar sebagai pedagang kaki lima. Arti frase membanting tulang pada kalimat tersebut adalah?” Yah, kurang lebih seperti itu memori saya melempar kebelakang mengingat istilah-istilah ini. (Mengenang ini semua, saya jadi ingat dengan Ibu Nurbayani, guru Bahasa Indonesia waktu SD. Semoga beliau dan guru-guru lainnya masih sabar dan bersemangat mendidik dan mengajar murid-murid mereka.)
Namun, saya sadari ternyata ada makna lebih dalam dibalik frase tersebut. Apa lagi disandingkan dengan frase “membanting otak”. Power yang terkandung dalam frase membanting tulang tidak sebatas berarti bekerja keras. Ada kesinergian yang tersirat pada kedua frase tersebut.
Saya yakin, rekan-rekan masih ingat bagaimana rekan-rekan hari ini bisa menikmati berbagai fasilitas hidup. Semisal, kita yang hari ini masih berstatus mahasiswa. Saya yakin rekan-rekan, termasuk saya sendiri, tidak pernah melupakan bagaimana perjuangan yang pernah kita lalui untuk bisa menduduki bangku perkuliahan. Hingga detik ini. Apa yang kita rasakan tidak akan pernah luput dari ingatan kita masing-masing. Mengapa? Karena ada citra sebuah arti perjuangan.
Citra sebuah arti perjuangan. Benar sekali, bukan hanya bagi kita tapi juga bagi kedua orang tua kita dengan perjuangan ala mereka. Di rumah kita masing-masing sekarang tertumpu harapan lebih kepada diri kita. Saat orang tua kita membanting tulang memenuhi kebutuhan hidup, ada harapan disetiap cangkulan tanah yang beliau garap, ada asa di setiap deru motor ketika beliau hendak berangkat ke kantor, ada cita-cita ketika beliau mulai duduk di kursi kerja, ada dan keinginan besar ketika beliau mulai menggelar barang dagangan di toko atau di emperan kaki lima. Itu semua bukti, hari ini beliau masih berjuang, membanting tulang untuk bertahan hidup, bahkan lebih tepatnya lagi agar kita yang sedang dalam masa pendidikan senantiasa mapan untuk bisa segera mewujudkan harapan, asa, cita-cita, dan keinginan yang beliau kantongi dalam hati mereka masing-masing.
Nah, seperti apa kondisi kita hari ini. Bagi kita, selaku mahasiswa, keterlaluan rasanya jika hari ini kita belum bisa memahami setiap harapan, asa, cita-cita, dan keinginan yang membayang di depan mata kedua orang tua kita. Jangan-jangan malah kita tidak tahu dan tidak sadar akan hal itu. Rupiah yang mereka sisihkan tiap bulannya adalah bukti nyata kesungguhan mereka terhadap harapan, asa, cita-cita, dan keinginan tersebut. Do’a yang terucap di sela-sela ibadah mereka adalah bukti ke-sangat-inginanan mereka akan harapan, asa, cita-cita, dan keinginan. Dibalik perjuangan mereka ada jutaan harapan, asa, cita-cita, dan keinginan melebihi uang yang mereka dapatkan dari hasil perjuangan itu sendiri.
Lantas apa yang mesti kita perbuat? Mereka pun juga tidak akan menuntut banyak. Mereka tidak meminta kita ikut ke sawah atau ladang untuk menggarap tanah persawahan, mereka juga tidak menginginkan kita ikut ke kantor kemudian duduk di kursi kerja mereka membantu pekerjaan-perkejaan mereka, juga tidak pernah terbesit keinginan mereka untuk mengikutkan kita berpanas terik menggelar barang dagangan di pasar. Tidak pernah. Lalu apa? Salah satunya adalah membanting otak (Semakin ekstrem kedengarannya).
Mambanting otak demi ilmu yang bermanfaat, berguna untuk kehidupan kita dan mereka. Mungkin hari ini mereka sudah tidak peduli lagi dengan rupiah-rupiah yang melayang tiap bulannya masuk ke rekening atau kantong kita. Toh, mereka tidak pernah berharap imbalan dan belas kasihan dari beberapa bagian uang yang telah mereka sisihkan tersebut. Yang mereka harapkan, mereka membanting tulang; kita membanting otak. Mereka tidak ingin apa yang selama ini mereka usahakan dan berdayakan sia-sia belaka.
Belum terlambat rasanya kita mereview semuanya. Selagi kita sadar dan mau memperbaiki diri insyaAllah janji Allah dalam Al Quran, Asy-Syuura ayat 25 “Dan Dialah yang menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan memaafkan kesalahan-kesalahan dan mengetahui apa yang kamu kerjakan” senantiasa ada untuk hamba-hamba-Nya. Syukur, Alhamdulillah bagi kita yang sudah memahami ini semua. Jangan bayangkan uang banyak yang nantinya bisa kita hasilkan dari segenap apa yang sudah kita miliki (kemampuan, ilmu pengetahuan, keterampilan dan sebagainya). Tapi wujudkanlah harapan, asa, cita-cita, dan keinginan yang selama ini hadir dalam untaian niat mereka. Agar harapan disetiap cangkulan tanah yang beliau garap, asa di setiap deru motor ketika beliau hendak berangkat ke kantor, cita-cita ketika beliau mulai duduk di kursi kerja, dan keinginan besar ketika beliau mulai mengelar barang dagangan di toko atau di emperan kaki lima tidak berujung dengan kesia-siaan. Ada harapan lebih yang mereka titipkan kepada kita.
Bersemangatlah selalu. Hari ini, di manapun beliau berada, ingat selalu akan harapan yang mereka titipkan kepada kita ketika hendak melangkahkan kaki keluar dari rumah. Buat mereka bangga, buat mereka tidak kecewa. Mesti tahu dan sadar akan tugas-tugas dan kewajiban kita, karena sebagian dari kewajiban kita adalah hak mereka. Jangan sampai bantingan tulang selama ini berarti sia-sia, hingga akhirnya beliau ”bertepuk sebelah tangan”. Jangan jadikan semua yang sudah mereka korbankan menjadi siluet yang siap ditelan kelamnya malam. Semangat untuk berbakti kepada kedua orang tua. Adalah kewajiban kita untuk mengobati letih dan penat yang mereka rasakan selama ini. Wallahu’alam.

(Saat mendung di bumi Jati, Padang.
Ba’da Dzuhur, 13 Desember 2010)
Read On 3 tanggapan

Mendewasakan Diri dengan Pilihan

18.46

Secara gambalang, hidup penuh dengan pilihan. Tanpa bermaksud memaksa, mungkin kita setuju dengan hal tersebut.
Pada hakikatnya sebuah pilihan berasal dari keinginan. Setuju? Contohnya saja, ketika kita berkeinginan untuk lulus dalam sebuah ujian, tentu kita harus memilih, belajar dengan sungguh-sungguh atau bertarung menghadapi ujian tanpa persiapan dengan konsekuensi kegagalan ataupun kekecewaan akan hasil yang akan kita dapatkan nantinya. Bagaimana? Sederhana bukan?
Semakin kita dibingungkan dalam memilih, ternyata semakin membuat tantangan itu semakin nyata, “lebih menggigit”. Mungkin ini pula yang namanya dinamitation of the choice (istilah pribadi). Setiap hari manusia terpajan oleh berbagai macam pilihan. Kadang pilihannya terlalu sulit untuk diputuskan.
Kalau boleh dibilang, sunatullahnya ketika kita memilih kita lebih cendrung untuk memikirkan hasil akhir. “Kalau ini yang saya pilih, kira-kira nanti bakalan seperti apa ya hasilnya? Trus, kalau saya milih yang ini apa bisa menguntungkan buat saya?” Nah, berasa kan bagaimana bingungnya ketika memilih. Tak jarang sewaktu memilih kita dihadapkan pada dilema (fenomena yang tidak disukai kebanyakan orang).
Lebih dalam lagi, memilih adalah bagian dari sebuah proses. Ia hadir dalam pemikiran kita sebagai hal yang mesti kita putuskan dan jalani. Terkadang pilihan-pilihan tersebut acap kali menzalimi si pemikir. Tapi tidak, hanya butuh keberanian dan keoptimisan untuk memutuskan pilihan mana yang akan kita ambil atau jalani. Tapi, nekat tidak direkomendasikan saat kita dibingungkan oleh pilihan.
Memilih berarti harus siap. Siap dibagian awal dan akhirnya. Karena akhir dari sebuah pilihan adalah pemahaman dan pemaknaan terhadap hasil yang kita peroleh setelah memutuskan suatu pilihan. Sekilas, potongan ayat ini mungkin bukanlah untaian asing lagi bagi kita. Allah berfirman dalam Al Quran al kariim, Al Baqarah ayat 216, “Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”
jadi nikmati saja hasil dari pilihan yang sudah kita tetapkan. Sepertinya Al Baqarah 216 yang dipaparkan di atas cukup kuat untuk dijadikan alibi "dilarang keras menyesali apa yang sudah kita pilih dan putuskan" Ada ilmu kedewasaan di sana, ada ilmu merakit semangat bangkit jika kita merasa pilihan itu belum tepat menurut kita dan ada pembelajaran tentunya, untuk setiap keputusan yang kita terima. Kita bisa belajar lebih banyak untuk berterimakasih kepada Allah atas segala yang telah Ia sempatkan hadir di tengah-tengah kehidupan kita.
Read On 1 tanggapan

Bismillahirrahmaanirrahiim

18.08
Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Belajar butuh usaha ^^
Read On 2 tanggapan

BINGKAI AMALFI

Cara kita menulis adalah cara kita berpikir

Entri Populer


Blogroll

Diberdayakan oleh Blogger.

About me

Foto saya
"Lebih berkesan, ketika kita tahu tentang arti sebenarnya keberadaan kita. Bukan perkara apa yang kita miliki sekarang, tetapi perkara sejauh mana kita sudah mensyukuri itu semua"

Himbauan

Apapun yang rekan-rekan dapatkan, baca, dan pahami, mutlak ini adalah karya cipata anak manusia, yang jauh dari kesempurnaan. Adalah suatu kebenaran yang sangat saya hargai bilamana terdapat kekeliruan atau kesalahan untuk disampaikan guna perbaikan demi keutuhan cita-cita penulis.

Lawatan Silaturrahiim