Mendewasakan Diri dengan Pilihan


Secara gambalang, hidup penuh dengan pilihan. Tanpa bermaksud memaksa, mungkin kita setuju dengan hal tersebut.
Pada hakikatnya sebuah pilihan berasal dari keinginan. Setuju? Contohnya saja, ketika kita berkeinginan untuk lulus dalam sebuah ujian, tentu kita harus memilih, belajar dengan sungguh-sungguh atau bertarung menghadapi ujian tanpa persiapan dengan konsekuensi kegagalan ataupun kekecewaan akan hasil yang akan kita dapatkan nantinya. Bagaimana? Sederhana bukan?
Semakin kita dibingungkan dalam memilih, ternyata semakin membuat tantangan itu semakin nyata, “lebih menggigit”. Mungkin ini pula yang namanya dinamitation of the choice (istilah pribadi). Setiap hari manusia terpajan oleh berbagai macam pilihan. Kadang pilihannya terlalu sulit untuk diputuskan.
Kalau boleh dibilang, sunatullahnya ketika kita memilih kita lebih cendrung untuk memikirkan hasil akhir. “Kalau ini yang saya pilih, kira-kira nanti bakalan seperti apa ya hasilnya? Trus, kalau saya milih yang ini apa bisa menguntungkan buat saya?” Nah, berasa kan bagaimana bingungnya ketika memilih. Tak jarang sewaktu memilih kita dihadapkan pada dilema (fenomena yang tidak disukai kebanyakan orang).
Lebih dalam lagi, memilih adalah bagian dari sebuah proses. Ia hadir dalam pemikiran kita sebagai hal yang mesti kita putuskan dan jalani. Terkadang pilihan-pilihan tersebut acap kali menzalimi si pemikir. Tapi tidak, hanya butuh keberanian dan keoptimisan untuk memutuskan pilihan mana yang akan kita ambil atau jalani. Tapi, nekat tidak direkomendasikan saat kita dibingungkan oleh pilihan.
Memilih berarti harus siap. Siap dibagian awal dan akhirnya. Karena akhir dari sebuah pilihan adalah pemahaman dan pemaknaan terhadap hasil yang kita peroleh setelah memutuskan suatu pilihan. Sekilas, potongan ayat ini mungkin bukanlah untaian asing lagi bagi kita. Allah berfirman dalam Al Quran al kariim, Al Baqarah ayat 216, “Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”
jadi nikmati saja hasil dari pilihan yang sudah kita tetapkan. Sepertinya Al Baqarah 216 yang dipaparkan di atas cukup kuat untuk dijadikan alibi "dilarang keras menyesali apa yang sudah kita pilih dan putuskan" Ada ilmu kedewasaan di sana, ada ilmu merakit semangat bangkit jika kita merasa pilihan itu belum tepat menurut kita dan ada pembelajaran tentunya, untuk setiap keputusan yang kita terima. Kita bisa belajar lebih banyak untuk berterimakasih kepada Allah atas segala yang telah Ia sempatkan hadir di tengah-tengah kehidupan kita.
1 tanggapan:

kalimat itu telak, sangat sering sulit aku terapkan... dan aku masih selalu belajar untuk gak menyesali apapun akibat dr keputusan yg dah aku buat :)

keep writing and blogging :)


Posting Komentar

BINGKAI AMALFI

Cara kita menulis adalah cara kita berpikir

Entri Populer


Blogroll

Diberdayakan oleh Blogger.

About me

Foto saya
"Lebih berkesan, ketika kita tahu tentang arti sebenarnya keberadaan kita. Bukan perkara apa yang kita miliki sekarang, tetapi perkara sejauh mana kita sudah mensyukuri itu semua"

Himbauan

Apapun yang rekan-rekan dapatkan, baca, dan pahami, mutlak ini adalah karya cipata anak manusia, yang jauh dari kesempurnaan. Adalah suatu kebenaran yang sangat saya hargai bilamana terdapat kekeliruan atau kesalahan untuk disampaikan guna perbaikan demi keutuhan cita-cita penulis.

Lawatan Silaturrahiim