Antara Keterpaksaan dan Kebiasaaan

12.10


Tulisan ini dilatar belakangi oleh kondisi saya disuatu hari. Kebanyakan orang lagi nge-trend melafalakannya dengan istilah labil. Kondisi tersebut memotivasi saya untuk menelusuri kembali potret kehidupan kurang lebih enam tahun silam. Ketika kebiasaan itu, lahir dari sebuah keterpaksaan. Semoga bisa mengobati sindroma labil tersebut.

Bagi sebagian orang mungkin tidak terlalu menyukai masa-masa SMAnya berlalu tanpa adanya sebuah kebebasan. Bebas berekspresi dan berkarya, melakukan apapun, merasakan hal-hal yang baru, dan pergi kemanapun yang disukai. Karena memang sudah sepantasnya usia dibalik seragam putih-abu itu merasakan dan menginginkan hal tersebut.

Ingin berbicara mengenai arti sebuah keterpaksaan dan korelasinya dengan hasil akhirnya berupa sebuah kebiasaan. Dua hal yang tidak terlalu kontradiktif namun masih diragukan khasiatnya. Apalagi ditambah dengan faktor-faktor ekstern. Semakin meragukan, mungkin.

Namun dibalik keraguan tersebut tersimpan sebuah harapan, bagi saya pribadi. Mengapa sebuah harapan?

Suatu ketika, pernah sebuah peraturan hadir dalam kehidupan saya. Lebih tepatnya lagi ketika menjalani usia di balik seragam putih-abu. Risiko mungkin, memilih melanjutkan sekolah di daerah dengan kekhasannya sebagai kota pemerhati imtaq (bukan bermaksud menjudge kota lain tak memerhatikan nilai yang satu ini). Ditambah lagi memilih sekolah dengan konsep boarding school, semakin menjadikan hidup dikala “usia di balik seragam putih-abu saya benar-benar dinamis. Ditambah lagi jauh dari orangtua.

Kembali ke peraturan tadi. Peraturan yang saya maksud, hadir lantaran karena memilih. Memilih tempat melanjutkan pendidikan. Dididik dan dibina.
 
Bangun lebih awal dan shalat subuh berjama’ah, tilawah al quran yang dikontrol, shalat berjama’ah yang senantiasa dievaluasi, hafalan al-quran yang tak pernah terlepas dari muraja’ah bersama-sama, belajar mandiri yang tak luput dari pantauan, mencuci pakaian sendiri, datang ke sekolah on time, dan ada beberapa lagi lainnya. Bagi saya, pada awalnya, beberapa diantaranya bukanlah hal yang biasa. Tidak salah rasanya, jika pada awalnya saya merasa terpaksa menjalani rutinitas, peraturan, anjuran, dan sekelumit ketetapan di tempat yang sudah saya pilih. Bahkan saya berpikir, saya salah memilih.

Ternyata tidak. Seiring waktu berjalan, ternyata bangun lebih awal dan shalat subuh berjama’ah tersebut bukanlah aturan yang memaksa, melainkan salah satu buat saya di akhirat kelak yang mesti dilatih dari dini. Tilawah al quran yang dikontrol, ternyata juga bukanlah sebuah tudingan untuk saya, melainkan inilah yang mengantarkan saya lancar membaca al-quran dibanding dengan sebelum saya memilih tempat ini. Shalat berjama’ah yang senantiasa dievaluasi, juga akhirnya membangunkan saya dari ketidak pahaman bahwa lelaki itu wajib hukumnya shalat berjama’ah. Hafalan al-quran yang tiada lepas dari muraja’ah bersama akhirnya mengajari saya tentang ilmu menjaga amanah (atas hafalan tersebut) dan mengaplikasikan salah satu anjuran terhadap al-quran, yakni menghafalnya. Belajar mandiri, datang ke sekolah on time, bahkan lebih awal, mencuci pakaian sendiri ternyata berujung pada komitmen untuk senentiasa menghargai diri pribadi dan waktu serta kedisiplinan. Subhanallah.

Saya rindu enam tahun silam itu. Ingin rasanya mendapatkan keterpaksaan lagi jika hasil seperti yang pernah saya dapatkan. Walau sebenarnya, kesadaran dari diri sendiri jauh lebih baik dari itu. Saya rindu enam tahun silam itu, atau setidaknya biarkan saya kembali ke enam tahun silam tadi hanya untuk mencabut kata-kata “saya salah memilih”.

Terimakasih ya Allah. Ampuni hamba jika terlalu banyak mengufuri nikmat-Mu.
Read On 5 tanggapan

Nge-Essay Yuk!

05.40
ESAI DAN SELUK BELUKNYA
Oleh: Hendra Amalfi
(Dari Berbagai Sumber)

Mengenal Esai
Pernah mendengar tulisan yang berjudul Als ik eens Nederlander was? Mungkin teman-teman sekalian benar. Judul tulisan yang sering kita dengar saat belajar mata pelajaran Sejarah di SMP ini adalah sebuah tulisan yang menyentil keadaan bangsa saat kolonialisme merajai bumi pertiwi. Dari tulisan ini pula semangat kebanggsaan Indonesia mencuat kepermukaan. Tulisan ini dipublikasikan pada tanggal 18 Juni 1913. Tulisan yang digagas oleh R.M. Soewardi Soerjaningrat, yang dalam Bahasa Indonesia berarti Seandainya Saya Orang Belanda, adalah salah satu contoh esai. Inilah salah satu contoh esai dimasa pergerakan Indonesia.
Esai secara makna kata berasal dari kosa kata Perancis yaitu essayer, yang kurang lebih berarti “mencoba” atau “menantang”. Esai adalah karya dalam bentuk tulisan yang lebih menonjolkan sudut pandang personal subjektif penulis. Esai jauh berbeda dan bukanlah suatu tulisan paper ilmiah yang penuh dengan catatan kaki dan kutipan-kutipan teori para ahli. Esai berisi pemikiran yang dipadu dengan pengalaman, observasi lapangan, anekdot, dan pergulatan batin penulis tentang subyek yang ditulisnya.
Sebuah esai akan memiliki daya pengaruh dan memberikan kontribusi yang luarbiasa terhadap perkembangan pemikiran jika mampu diramu dan diformulasikan dengan tepat. Karena pada hakikatnya esai berisi jalan pemikiran seseorang, perspektif seseorang dalam memandang permasalahan, dan ide personal terhadap suatu konflik. Kurang lebih, esai berisi pengaruh, perspektif penulis yang berefek samping munculnya dinamisasi pemikiran pembaca. Bisa jadi pembaca menganggukkan pandangan penulis, menolak, atau malah muncul pandangan baru ala pembaca.

Struktur Esai
Secara garis besar esai mengandung tiga bagian utama :
1. Pengantar (introduction)
2. Pengembangan (development of idea)
3. Kesimpulan (conclusion)
Bagian pengantar (introduction) esai berisi pokok pembahasan dari permasalahan yang kita angkat. Seperti yang dituliskan pada bagian di atas bahwa permasalahan tersebut dapat berupa argumentasi penulis terhadap suatu kondisi, fenomena atau kejadian yang menyita perhatian orang banyak, pergolakan batin penulis tentang suatu kondisi, dan sebagainya.
Paragraf pertama merupakan bagian yang mungkin paling sulit dikerjakan. Tidak akan sulit kalau kita mampu fokus pada ide dan background esai kita. Sebagian orang memiliki beberapa trik untuk permasalahan ini, yakni dengan membiarkan kesukaran ini dan memutuskannya untuk menulis ulang. Akan tetapi perlu ditekankan lagi bahwa paragraf pertamalah yang menarik perhatian pembaca ke topik dan pendapat kita, serta penting untuk membuat pembaca membaca esai kita hingga tuntas. The first paragraph is often the most difficult to write.
Sesulit apapun paragraf pertama ini, semuanya dapat kita mulai dengan membangun kerangka topik yang akan kita coba eksploitasi dan dengan mendefinisikan topik tersebut. Sesuai dengan sebuah jargon iklan di TV, “Pandangan pertama begitu menggoda, selanjutnya terserah Anda.” Perkenalkan topik yang akan kita bahas dan ikat pembaca kita dan pastikan mereka akan menyelesaikan membaca esai kita. Ingat, perkenalan yang menarik akan memberikan kesan yang melekat. Mulailah tulisan kita dengan menjabarkan topik esai dalam satu atau dua kalimat pembuka.
Berikutnya adalah bagian pengembangan, development of idea. Pada bagian kedua inilah kita menyuguhkan argumentasi dan data. Satu demi satu argumentasi, pergulatan pemikiran disajikan demi terbangunnya sebuah tulisan yang kuat. Kita mesti bisa mengungkapkan pendapat kita dalam tulisan dengan runut dan menarik. Gagasan yang disampaikan juga mesti tersampaikan melalui paragraf demi paragraf yang terhubung secara kompak, logis, dan menarik. Hindari “kerut dahi” pembaca kita lantaran curahan pemikiran, pandangan, dan ide esai kita tidak tersusun rapi dan meloncat-loncat.
Terakhir adalah bagian kesimpulan. Bagian ini tidak harus menyuguhkan solusi, jawaban yang final atas thesis yang kita ajukan. Pada bagian ini kita juga bisa mengajak pembaca untuk mencari solusi, melakukan refleksi, menyajikan alternatif yang segar dan unik, atau sekadar mempertanyakan kebenaran dan kemapanan argumentasi yang sudah kita sajikan. Walaupun begitu, pada bagian paragraf kesimpulan ada beberapa poin yang mesti kita perhatikan. Review lagi, apakah paragraf terakhir yang kita tulis sudah menggambarkan dan menyatakan ulang tema utama secara singkat? Selanjutnya, pada bagian ini harus ada gambaran bahwa argumentasi dan ide-ide yang kita kita luapkan sepadan dengan topik esai dan yang terpenting adalah, argumentasi itu penting kedudukannya dalam esai yang kita tulis. Terakhir, tanpa meninggalkan fungsi utama bagian ini yakni tempat untuk menyimpulkan keseluruhan isi esai.

Penutup
          Siapapun kita, kita memiliki cara tersendiri dalam menulis. Adapun kerangka-kerangka yang dijabarkan di atas, itu hanyalah sebuah tawaran. Dengan harapan dapat mempermudah kita dalam mengeksploitasi ide-ide kita. Semua diserahkan kepada masing-masing personal. Ramu dan formulasikanlah cara kita sendiri dan berbagilah agar kaya khasanah.
          Sungguh, menulis adalah satu-satunya cara agar ide kita tidak beku dan mengendap di lobus memori otak kita yang terdalam. Menulis mampu mengungkit bagian terdalam dari endapan ide-ide kita. Menulis mengajarkan kita bagaimana merangkai ide-ide tersebut sehingga terasa manis dan melekat di hati dan pemikiran pembaca kita. Kita sama-sama belajar, tak terkecuali saya pribadi. “Dan ikatlah ilmu itu dengan menuliskannya”. Selamat menulis teman-teman semua.
Read On 6 tanggapan

Kompas, Agar Sukses Ujian

07.29

Oleh: Hendra Amalfi

Ketika kita mendengar kata “ujian”, mungkin yang terbayang oleh kita adalah suatu tantangan yang harus dihadapi dan diselesaikan. Suatu episode yang mesti dituntaskan sesegera mungkin. Untuk sementara statement tersebut cukup untuk mewakili defenisi sederhana dari ujian. Dalam hidup ini, kita mengenal begitu banyak bahkan menjalani ujian itu sendiri. Mulai ujian yang sifatnya akademik –seperti ujian sekolah, ujian semester, ujian naik kelas, ujian masuk PTN, ujian CPNS, dan sebagainya– sampai ujian kehidupan yang beragam dan bervariasi ujian dalam bentuk musibah, bencana, kemelaratan, dan sebagainya.
Menelik situasi saat ini, terutama di Sumatera Barat, boleh dikatakan moment yang tepat untuk berbicara mengenai ujian. Bayangkan, lebih dari enam ribu warga Sumatera Barat akan mengikuti ujian penerimaan PNS (Pegawai Negeri Sipil). Tak ketinggalan di sejumlah institusi perguruan tinggi juga akan menggelar ujian bagi para mahasiswanya. Dalam hitungan minggu kedepan, ujian semester pun akan dilalui oleh siswa/i diberbagai tingkatan sekolah. Memang begitulah sebuah ujian, episode pasti dalam rentang kehidupan ini. Hadir menantang kita dan meninggalkan jejak, berupa hasil perjuangan kita dalam menghadapinya.
Bukan suatu hal yang aneh lagi bahwasanya ujian itu penuh dengan tantangan, yang secara sadar atau tidak telah memaksa kita untuk memacahkan dan menyelesaikan tantangan tersebut. Berbagai persiapanpun tentunya harus kita lakukan. Mulai dari melengkapi catatan, bahan kuliah dari dosen, diktat kuliah ataupun mencari materi-materi yang akan diujiankan, memfotocopy contoh-contoh soal ujian tahun sebelumnya, membahasnya dan persiapan-persiapan lainnya. Intinya, sebuah persiapan.
Dari hal tersebut kita diajari, bahwa dalam menghadapi suatu ujian (baik ujian akademis maupun ujian dalam kehidupan) dibutuhkan suatu persiapan yang matang agar kita dapat menghadapinya dan menyiasatinya dengan sebaik-baiknya. Suatu ujian yang dihadapi tanpa persiapan, akan membuahkan kegagalan yang dapat berakibat munculnya rasa kekecewaan dan menyesal dipenghujung perjuangan kita.
Teringat memori di SMA dahulu, yang mungkin pernah kita temui dan saksikan sendiri. Ketika ditanya kepada teman saat UN (Ujian Nasional). “Bagaimana dengan UN mu?”. Spontan dia menjawab, “Ya… lumayan lah. Awalnya banyak jawaban yang kosong karena saya tidak tahu sama sekali. Tapi karena ada teman yang nolong kasih contekan, dan akhirnya saya bisa mengisi semua jawaban yang kosong”. Ada yang menganggap ini lumrah. Benarkah?
Ketika seorang Ibu ditanya perihal ekonomi keluarganya yang sedang pailit, beliau menjawab, “Ya nak…hidup sekarang memang susah. Anggap saja ini sebuah ujian dari Allah. Toh, semua kita akan mendapatkan jatah ujian dari-Nya, tapi kita tidak akan pernah tahu kapan ujian datang dan dalam bentuk apa”. Lain halnya ketika seorang anak SD dengan polos menyatakan, ketika ditanya perihal ujiannya, “Ya…Bang. Alhamdlillah ada yang dapat tapi ada juga yang tidak dapat. Padahal saya kan sudah mati-matian belajar jauh-jauh hari sebelum ujian”. Sebegitukah ketika kita menjawab tantangan dalam bentuk sebuah ujian?
Dari potret keseharian yang sederhana diatas kembali kita diajarkan suatu hal yakni, dalam menghadapi suatu ujian kita mempunyai siasat masing-masing untuk menjalani dan menuntaskan ujian tersebut. Banyak cara yang dapat dilakukan untuk menghadapi ujian tersebut. Tapi yang perlu menjadi kita perhatikan dan pahami, apakah cara tersebut sudah benar atau bahkan cara tersebut tidak benar? Kita harus memikirkan, apakah cara-cara yang dihadapkan kepada kita merupakan suatu cara dan langkah yang etis atau sesuai. Jangan sampai kita menghalalkan berbagai cara demi segelintir bayangan kesuksesan di masa depan, yang pada akhirnya hal tersebut juga Allah yang menentukan.
Banyak bentuk kebenaran cara dan siasat yang dapat menjadi pilihan kita saat menghadapi ujian. Tidak sedikit dari cara dan siasat tersebut adalah tak-tik liar dan kecurangan yang menjelma disetiap ujian yang dihadapi. Mana jalan yang pantas kita tempuh? Ketika kita dihadapkan pada hal yang demikian, yang kita butuhkan adalah sebuah kompas. Kompas disini bukanlah kompas penunjuk dua arah (utara dan selatan), tetapi kompas penunjuk dua jalan (kebaikan dan keberukan).
Dalam menghadapi ujian sudah semestinya kita berpedoman kepada arah kompas ini. Kompas kehidupan, penunjuk dua jalan, arah kebaikan dan keburukan. Kita sebagai makhluk Allah yang diberi akal pikiran dan hati nurani, memiliki kemampuan untuk membedakan mana hal yang baik dan mana hal yang buruk. Setiap agama mengajarkan hal tersebut, tentang berbagai kebaikan dan keburukan beserta konsekuensinya. Dan semua agama mengakui bahwa berbohong, mencuri, mencontek, menipu, dan sebagainya adalah suatu hal yang buruk dan akan membuahkan ganjaran dosa dari Allah.
Apapun yang menyebabkan kita buta akan suatu hal yang baik dan yang buruk, indikator benar dan salah” tetap akan menjadi hal yang tidak akan pernah bisa kita pungkiri. Ibarat kompas yang sesungguhnya, tidak pernah menutup-nutupi kedua arah utara dan selatan. Ia tidak pernah berbohong akan dua arah tersebut. Begitu pula dengan kompas kehidupan tadi, ia tidak akan pernah menyembunyikan apapun dari diri kita. Yang benar akan mutlak benar dan yang salah tetap akan salah. Walaupun terkadang kita memungkirinya, mengabaikan dan tidak peduli terhadap arah yang ditunjukkannya. Kompas itu akan mengatakannya kepada kita.
Kecurangan dan kebohongan dalam menghadapi ujian, bukanlah bagian dari semangat dalam memperjuangkan kehidupan. Yakinkanlah diri kita, bahwa sifat-sifat negatif tersebut akan berujung pada kekecewaan dan kegagalan. Tidak pernah ada kepuasan ketika kita memperoleh sesuatu dengan cara dan jalan yang tidak baik.
Henry Ford pernah menyatakan, “Orang melihat keberhasilan yang dicapai manusia lain dan tampaknya hal itu terlihat mudah dicapai. Tetapi itulah dunia, yang sangat berbeda dengan fakta yang ada. Kegagalan yang mudah dan keberhasilan yang selalu sulit. Seseorang dapat gagal, sedangkan ia dapat berhasil hanya dengan menyumbangkan semua yang dimilikinya dan menjadi dirinya.” Adalah suatu keniscayaan yang tidak bisa kita pungkiri bahwa hasil dari ujian itu akan menjadi ketentuan Allah.
Kesungguhan kita dalam menghadapinya, kesabaran kita dalam menjalaninya, dan kearifan kita dalam menuntaskan ujian tersebut, merupakan poin penting yang harus kita simak dalam melangkah dalam medan perjuangan hidup ini. Tidak semestinya kita memotong jalan yang harus kita tempuh dengan hal-hal yang “menjijikan”, walau untuk melakukan hal yang benar itu sering terasa sulit. Banyak cara yang lebih baik dan diberkahi serta diredhoi Allah untuk kita jadikan alterntif pilihan kita dalam menghadapi ujian ini. Allah memandang keberhasilan kita bukan dari hasil akhir yang kita peroleh, melainkan dari proses kita menjalaninya, dari awal hingga akhir perjuangan tersebut.
Read On 7 tanggapan

BINGKAI AMALFI

Cara kita menulis adalah cara kita berpikir

Entri Populer


Blogroll

Diberdayakan oleh Blogger.

About me

Foto saya
"Lebih berkesan, ketika kita tahu tentang arti sebenarnya keberadaan kita. Bukan perkara apa yang kita miliki sekarang, tetapi perkara sejauh mana kita sudah mensyukuri itu semua"

Himbauan

Apapun yang rekan-rekan dapatkan, baca, dan pahami, mutlak ini adalah karya cipata anak manusia, yang jauh dari kesempurnaan. Adalah suatu kebenaran yang sangat saya hargai bilamana terdapat kekeliruan atau kesalahan untuk disampaikan guna perbaikan demi keutuhan cita-cita penulis.

Lawatan Silaturrahiim