Banting Tulang feat Banting Otak

08.53

Akhir-akhir ini memori saya sangat familiar dengan istilah yang satu ini, “membanting otak”. Terdengar agak ekstrem. Saya juga belum tahu, apakah istilah ini sudah familiar pula digunakan masyarakat umum atau belum. Kalau belum, berarti saya sedang mengupayakan sebuah istilah baru untuk bisa dipahami orang banyak. :D
Lain halnya dengan kata-kata “membanting tulang”. Semenjak saya duduk di bangku sekolah dasar, istilah ini sering digunakan. Cukup familiar. Apalagi saat kelas Bahasa Indonesia, belajar tentang pribahasa dan frase. “Ayah membanting tulang di sawah.” Mungkin ini salah satu kalimat yang sering pula kita tulis. Atau guru di depan kelas memberikan pertanyaan untuk ulangan harian Bahasa Indonesia, “Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Ayah dan Ibu terpaksa membanting tulang di pasar sebagai pedagang kaki lima. Arti frase membanting tulang pada kalimat tersebut adalah?” Yah, kurang lebih seperti itu memori saya melempar kebelakang mengingat istilah-istilah ini. (Mengenang ini semua, saya jadi ingat dengan Ibu Nurbayani, guru Bahasa Indonesia waktu SD. Semoga beliau dan guru-guru lainnya masih sabar dan bersemangat mendidik dan mengajar murid-murid mereka.)
Namun, saya sadari ternyata ada makna lebih dalam dibalik frase tersebut. Apa lagi disandingkan dengan frase “membanting otak”. Power yang terkandung dalam frase membanting tulang tidak sebatas berarti bekerja keras. Ada kesinergian yang tersirat pada kedua frase tersebut.
Saya yakin, rekan-rekan masih ingat bagaimana rekan-rekan hari ini bisa menikmati berbagai fasilitas hidup. Semisal, kita yang hari ini masih berstatus mahasiswa. Saya yakin rekan-rekan, termasuk saya sendiri, tidak pernah melupakan bagaimana perjuangan yang pernah kita lalui untuk bisa menduduki bangku perkuliahan. Hingga detik ini. Apa yang kita rasakan tidak akan pernah luput dari ingatan kita masing-masing. Mengapa? Karena ada citra sebuah arti perjuangan.
Citra sebuah arti perjuangan. Benar sekali, bukan hanya bagi kita tapi juga bagi kedua orang tua kita dengan perjuangan ala mereka. Di rumah kita masing-masing sekarang tertumpu harapan lebih kepada diri kita. Saat orang tua kita membanting tulang memenuhi kebutuhan hidup, ada harapan disetiap cangkulan tanah yang beliau garap, ada asa di setiap deru motor ketika beliau hendak berangkat ke kantor, ada cita-cita ketika beliau mulai duduk di kursi kerja, ada dan keinginan besar ketika beliau mulai menggelar barang dagangan di toko atau di emperan kaki lima. Itu semua bukti, hari ini beliau masih berjuang, membanting tulang untuk bertahan hidup, bahkan lebih tepatnya lagi agar kita yang sedang dalam masa pendidikan senantiasa mapan untuk bisa segera mewujudkan harapan, asa, cita-cita, dan keinginan yang beliau kantongi dalam hati mereka masing-masing.
Nah, seperti apa kondisi kita hari ini. Bagi kita, selaku mahasiswa, keterlaluan rasanya jika hari ini kita belum bisa memahami setiap harapan, asa, cita-cita, dan keinginan yang membayang di depan mata kedua orang tua kita. Jangan-jangan malah kita tidak tahu dan tidak sadar akan hal itu. Rupiah yang mereka sisihkan tiap bulannya adalah bukti nyata kesungguhan mereka terhadap harapan, asa, cita-cita, dan keinginan tersebut. Do’a yang terucap di sela-sela ibadah mereka adalah bukti ke-sangat-inginanan mereka akan harapan, asa, cita-cita, dan keinginan. Dibalik perjuangan mereka ada jutaan harapan, asa, cita-cita, dan keinginan melebihi uang yang mereka dapatkan dari hasil perjuangan itu sendiri.
Lantas apa yang mesti kita perbuat? Mereka pun juga tidak akan menuntut banyak. Mereka tidak meminta kita ikut ke sawah atau ladang untuk menggarap tanah persawahan, mereka juga tidak menginginkan kita ikut ke kantor kemudian duduk di kursi kerja mereka membantu pekerjaan-perkejaan mereka, juga tidak pernah terbesit keinginan mereka untuk mengikutkan kita berpanas terik menggelar barang dagangan di pasar. Tidak pernah. Lalu apa? Salah satunya adalah membanting otak (Semakin ekstrem kedengarannya).
Mambanting otak demi ilmu yang bermanfaat, berguna untuk kehidupan kita dan mereka. Mungkin hari ini mereka sudah tidak peduli lagi dengan rupiah-rupiah yang melayang tiap bulannya masuk ke rekening atau kantong kita. Toh, mereka tidak pernah berharap imbalan dan belas kasihan dari beberapa bagian uang yang telah mereka sisihkan tersebut. Yang mereka harapkan, mereka membanting tulang; kita membanting otak. Mereka tidak ingin apa yang selama ini mereka usahakan dan berdayakan sia-sia belaka.
Belum terlambat rasanya kita mereview semuanya. Selagi kita sadar dan mau memperbaiki diri insyaAllah janji Allah dalam Al Quran, Asy-Syuura ayat 25 “Dan Dialah yang menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan memaafkan kesalahan-kesalahan dan mengetahui apa yang kamu kerjakan” senantiasa ada untuk hamba-hamba-Nya. Syukur, Alhamdulillah bagi kita yang sudah memahami ini semua. Jangan bayangkan uang banyak yang nantinya bisa kita hasilkan dari segenap apa yang sudah kita miliki (kemampuan, ilmu pengetahuan, keterampilan dan sebagainya). Tapi wujudkanlah harapan, asa, cita-cita, dan keinginan yang selama ini hadir dalam untaian niat mereka. Agar harapan disetiap cangkulan tanah yang beliau garap, asa di setiap deru motor ketika beliau hendak berangkat ke kantor, cita-cita ketika beliau mulai duduk di kursi kerja, dan keinginan besar ketika beliau mulai mengelar barang dagangan di toko atau di emperan kaki lima tidak berujung dengan kesia-siaan. Ada harapan lebih yang mereka titipkan kepada kita.
Bersemangatlah selalu. Hari ini, di manapun beliau berada, ingat selalu akan harapan yang mereka titipkan kepada kita ketika hendak melangkahkan kaki keluar dari rumah. Buat mereka bangga, buat mereka tidak kecewa. Mesti tahu dan sadar akan tugas-tugas dan kewajiban kita, karena sebagian dari kewajiban kita adalah hak mereka. Jangan sampai bantingan tulang selama ini berarti sia-sia, hingga akhirnya beliau ”bertepuk sebelah tangan”. Jangan jadikan semua yang sudah mereka korbankan menjadi siluet yang siap ditelan kelamnya malam. Semangat untuk berbakti kepada kedua orang tua. Adalah kewajiban kita untuk mengobati letih dan penat yang mereka rasakan selama ini. Wallahu’alam.

(Saat mendung di bumi Jati, Padang.
Ba’da Dzuhur, 13 Desember 2010)
Read On 3 tanggapan

Mendewasakan Diri dengan Pilihan

18.46

Secara gambalang, hidup penuh dengan pilihan. Tanpa bermaksud memaksa, mungkin kita setuju dengan hal tersebut.
Pada hakikatnya sebuah pilihan berasal dari keinginan. Setuju? Contohnya saja, ketika kita berkeinginan untuk lulus dalam sebuah ujian, tentu kita harus memilih, belajar dengan sungguh-sungguh atau bertarung menghadapi ujian tanpa persiapan dengan konsekuensi kegagalan ataupun kekecewaan akan hasil yang akan kita dapatkan nantinya. Bagaimana? Sederhana bukan?
Semakin kita dibingungkan dalam memilih, ternyata semakin membuat tantangan itu semakin nyata, “lebih menggigit”. Mungkin ini pula yang namanya dinamitation of the choice (istilah pribadi). Setiap hari manusia terpajan oleh berbagai macam pilihan. Kadang pilihannya terlalu sulit untuk diputuskan.
Kalau boleh dibilang, sunatullahnya ketika kita memilih kita lebih cendrung untuk memikirkan hasil akhir. “Kalau ini yang saya pilih, kira-kira nanti bakalan seperti apa ya hasilnya? Trus, kalau saya milih yang ini apa bisa menguntungkan buat saya?” Nah, berasa kan bagaimana bingungnya ketika memilih. Tak jarang sewaktu memilih kita dihadapkan pada dilema (fenomena yang tidak disukai kebanyakan orang).
Lebih dalam lagi, memilih adalah bagian dari sebuah proses. Ia hadir dalam pemikiran kita sebagai hal yang mesti kita putuskan dan jalani. Terkadang pilihan-pilihan tersebut acap kali menzalimi si pemikir. Tapi tidak, hanya butuh keberanian dan keoptimisan untuk memutuskan pilihan mana yang akan kita ambil atau jalani. Tapi, nekat tidak direkomendasikan saat kita dibingungkan oleh pilihan.
Memilih berarti harus siap. Siap dibagian awal dan akhirnya. Karena akhir dari sebuah pilihan adalah pemahaman dan pemaknaan terhadap hasil yang kita peroleh setelah memutuskan suatu pilihan. Sekilas, potongan ayat ini mungkin bukanlah untaian asing lagi bagi kita. Allah berfirman dalam Al Quran al kariim, Al Baqarah ayat 216, “Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”
jadi nikmati saja hasil dari pilihan yang sudah kita tetapkan. Sepertinya Al Baqarah 216 yang dipaparkan di atas cukup kuat untuk dijadikan alibi "dilarang keras menyesali apa yang sudah kita pilih dan putuskan" Ada ilmu kedewasaan di sana, ada ilmu merakit semangat bangkit jika kita merasa pilihan itu belum tepat menurut kita dan ada pembelajaran tentunya, untuk setiap keputusan yang kita terima. Kita bisa belajar lebih banyak untuk berterimakasih kepada Allah atas segala yang telah Ia sempatkan hadir di tengah-tengah kehidupan kita.
Read On 1 tanggapan

Bismillahirrahmaanirrahiim

18.08
Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Belajar butuh usaha ^^
Read On 2 tanggapan

BINGKAI AMALFI

Cara kita menulis adalah cara kita berpikir

Entri Populer


Blogroll

Diberdayakan oleh Blogger.

About me

Foto saya
"Lebih berkesan, ketika kita tahu tentang arti sebenarnya keberadaan kita. Bukan perkara apa yang kita miliki sekarang, tetapi perkara sejauh mana kita sudah mensyukuri itu semua"

Himbauan

Apapun yang rekan-rekan dapatkan, baca, dan pahami, mutlak ini adalah karya cipata anak manusia, yang jauh dari kesempurnaan. Adalah suatu kebenaran yang sangat saya hargai bilamana terdapat kekeliruan atau kesalahan untuk disampaikan guna perbaikan demi keutuhan cita-cita penulis.

Lawatan Silaturrahiim